Malak |
Waktu saya kecil, ketika masih
bersekolah di SD 22 Padang pada tahun 1995-an, sekitar 18 tahun yang lalu, (ya
ampun, ga nyangka ternyata saya sudah tua -__-) saya berjalan kaki menuju
sekolah loh. Padahal sudah ada rute dengan menggunakan kendaraan umum tapi saya
tetap memilih untuk berjalan kaki karena selain mempunyai rute perjalanan yang
lebih dekat dari pada rute angkutan umum, saya juga ingin mendapatkan uang
jajan lebih. Soalnya dulu jajan saya tidak seberapa, Cuma 100 perak, kalau
tidak salah, kalau dirupiahkan, mungkin sekarang nilainya mencapai 1500 Rupiah.
Jalanannya seperti jalan kampung. Melewati persawahan. Melewati perumahan penduduk,
mirip-mirip seperti lagu : “Naik Delman” deh, bedanya saya tidak menggunakan
kuda, tapi menggunakan dengkul dan telapak kaki yang datar ini. Setelah sekian
lama melewati jalan tersebut, akhirnya saya baru tahu, selain daerahnya indah, disitu
ternyata ada preman kampung yang suka malakin
anak-anak SD yang bersekolah di dekat situ.
Saya suatu ketika pernah akhirnya dipalakin
juga, saya dicegat, ditakut-takuti dan dimintai uang. Saya lupa, apakah saya
memberikan uang atau tidak. Perawakannya agak seram. Seperti berandalan.
Di masa sekarang, saya
berargumen, bahwa sebenarnya dia adalah cerminan anak bangsa yang tidak
mendapatkan kasih sayang orang tua, seperti kita dan saya, yang seharusnya
membimbingnya agar jangan berbuat seperti itu. Itulah mungkin penyebabnya kenapa
dia menjadi liar seperti itu. Atau memang dasarnya sudah badung? Entahlah,
menurut saya semua individu bisa dibentuk koq, contohnya saya, bsa koq berubah
dan menjadi individu yang lebih baik. Dari yang dulunya adalah berandalan
kecil.
Saya lalu memutuskan untuk tidak
melewati jalan itu sendirian. Jika sedang ramai dan saya sedang bersama dengan teman-teman
yang lain, baru saya lewat. Entah kenapa kalau di depan orang banyak begadul itu tidak mau terlihat sisi
premanismenya. Yah, masih preman sayur lah. Tak berapa lama kemudian, dia tidak
terlihat lagi nongkrong di tempat duduk yang sama. Mungkin dia sudah mendapat
kesibukan yang lain, ga jauh-jauh, malak
di pasar :D
Itu pada jaman dulu, ketika kalender
sudah berganti tahun demi tahun dan berhenti diangka 2013 alias saat ini. Pengertian
malak sudah sedikit bergeser. Yang tadinya
terlihat secara nyata dan begitu gampangnya kita mengenalinya, sekarang tidak
begitu lagi. Memalak di jaman sekarang tertutupi oleh sebuah tindakan atau pelayanan
(segala macam servis), yang sebenarnya menurut kita tidak terlalu penting. Kalau
kita boleh memilih, kita juga sebenarnya tidak mau memakai jasa mereka. Namun karena
mereka menggunakan fasilitas umum, seperti jalan raya, jabatan,dll akhirnya mau
tidak mau kita terpaksa memberikan “penghargaan”
berupa uang.
Biar ga ribet
ngebayang-bayanginnya. Ini ada beberapa contoh nyata dalam kehidupan kita :
- Polisi
cepePolisi cepe ini adalah istilah untuk sebuah “profesi” yang mempunyai servis untuk “menyeberangkan mobil”. Mereka berada di pertigaan, perempatan atau putar balik jalan raya. Cepe (100 Rupiah) adalah nilai yang kita berikan sebagai upah untuk mereka. Kenapa ada istilah polisi? Karena memang biasanya Polisi jalan raya yang bertugas untuk itu. Dari situlah lahir istilah “polisi cepe”. Pada waktu itu cepe masih lumayan berharga. Kalau jaman sekarang, paling kecil jatah untuk mereka adalah gope (500 rupiah). Mereka memanfaatkan kondisi jalan tersebut untuk merenggut rupiah dengan servis ala tukang parkir. Bermodalkan pluit dan baju seadanya (ada juga sih yang memakai seragam hijau-hijau, beberapa), mereka dengan leluasa menyetop mobil yang berlawanan dengan mobil yang ingin mereka palak melalui servis mereka itu. Lalu memakai gerakan melambai-lambaikan tangan mereka melewatkan mobil tersebut. Padahal terkadang dengan belok sendiri atau melintasi pertigaan sendiri pun sebenarnya bisa, ditambah dengan toleransi dengan pengendara dari arah sebaliknya.
Polisi cepe yang mengharapkan gope Sebenarnya sih, untuk beberapa kasus memang keberadaan mereka dibutuhkan. Ada beberapa tempat yang pemakai biasa jalanan di daerah situ tidak sabaran. Mereka tidak mau mengalah untuk gentian memakai jalan, seperti perapatan Pekapuran, perapatan Cibinong, perapatan Semper, dan lainnya. Namun kebanakan adalah anak-anak muda yang tidak ada kerjaan. Lalu menjadikan Polisi cepe ini sebagai cara untuk bertahan hidup. Minornya, sering ada umpatan, jika mobil bersangkutan tidak memberikan uang. Padahal kan tidak ada yang meminta jasanya? - Rasia
di jalan rayaKalo yang di atas adalah polisi gadungan, nah sekarang Polisi beneran. Mereka ini adalah oknum yang memakai atribut Polisinya untuk memalak pengendera motor/ mobil (kebanyakan motor) yang melanggar aturan. Oke lah, para pengendara tersebut tidak mematuhi aturan lalu lintas, mungkin tidak memakai helm, kaca spion tidak ada, bongceng 3, dll, tapi kan tidak selalu harus dihukum dengan meminta uang? Yang uangnya tidak jelas lari kemana? Yang kita sendiri tahu, itu duit siapa yang makan.Di luar negeri bentuk hukuman tidak selalu dinilai dengan materi berupa uang. Ada yang menegur terlebih dahulu. Ada yang memberikan hukuman push up. Ada yang memberikan hukuman kerja bakti sosial.
Saya juga termasuk orang yang menyuarakan tertib lalu lintas, karena ini menyangkut keselamatan banyak orang. Saya juga ingin ada keadilan yang berbicara di jalan raya. Saya beberapa kali juga menjadi korban. Dan saya sendiri juga sepatutnya dihukum jika sering menerobos lampu merah.Untuk tilang resmi saya tidak perlu banyak bahas, karena itu memang harus kita patuhi.Rasia Mistis Tapi untuk tilang tidak resmi, harus ada yang membenahi ini. Dengan adanya oknum-oknum Polisi yang memanfaatkan seragamnya untuk memalak pengendera dengan tujuan untuk kesejahteraan “udel”nya, kita harus protes! Isitilahnya mereka sih “uang damai”. Padahal yang damai cuma dia sendiri. - Parkir
liarNah kalau yang ini, setiap hari kita pasti sering temui. Karena sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita ingin makan di pinggir jalan, ada tukang parkirnya. Kita ingin berbelanja di toko (padahal ada tulisannya : PARKIR GRATIS) ada tukang parkirnya. Kita ingin ke mall, ada yang manfaatin lahan kosong untuk parkir dengan tarif sesuka hati mereka. Makanya man-teman, jangan mau parkir di tempat yang bukan lahan resmi. Karena itu semua masuk ke kantong pribadi mereka. Kalau ada pilihan parkir di Mall, parkir disana saja. Kalo benar-benar kepepet, misalnya tidak bawa STNK barulah parkir di sana. Apa boleh buat.
Parkir liar Yang paling ngeselin adalah mereka memalak dengan modus menjaga kendaraan kita, kalau ada barang yang hilang, mereka juga tidak mau bertanggung-jawab. Edan kan. Jadi apa gunanya kalian ada disitu, wahai tukang parkir?!
Jangan-jangan sebentar lagi kalau kita ingin pub juga ada tukang parkirnya. Entahlah.
Dan kalau kalian mau ambil kalkulator, mau mencoba untuk mengkalkulasikan keuntungan mereka setiap hari. Kalian akan tercengang. Gaji bulanan kalian hampir disamain, kalau kalian adalah lulusan D3 dan berstatus pegawai biasa. - Parkir WCTerdengar aneh tapi ini adalah kejadian nyata. Saya mengalaminya sendiri ketika berkunjung ke MALL ATRIUM SENEN. Jika kalian kebelet pipis, maka kalian harus menyiapkan kocek 1000 rupiah. Edan kan, padahal statusnya adalah pusat perbelanjaan. Mana ada memakai toilet, bayar. Itu kan fasilitas Mall tersebut. Harusnya kan servis itu sudah termasuk dalam barang belanjaan yang kita beli di sana. Saya tidak tahu wabah ini sudah sampai mana, mudah-mudahan hanya terjadi di Senen saja, kalau sampai melanda kawasan lain juga, sudahlah, kita belanja di pasar tradisional atau online aja kawan-kawan.
Setoran di WC - Praktek Suap-menyuap
PNSMungkin sudah pada tahu semua apa inti judul diatas. Atau anda salah satu pelakunya? Haha mudah-mudahan tidak ya. Sudah bagaimana sih kondisi kepegawaian Republik Indonesua tercinta kita ini? Pasti sudah tahu bagaimana praktik suap menyuap bagaimana cara memasukkan orang supaya menjadi PNS di perkotaan atau di pedesaan terjadi. Orang-orang di dalam pemerintahan sana mencari uang dengan cara yang sangat menyedihkan, suap menyuap dengan sangat transparan dan anehnya tidak ada tindak lanjut hukumnya. Semacam rahasia umum. Mungkin saat ini sudah ada KPK yang sebagai jembatan hukumnya, tapi apakah sudah cukup? Belum. Karena KPK ini sendiri adalah badan pemerintahan juga bukan? :D
Mungkin ada beberapa yang secara murni bisa masuk ke pemerintahan, tapi kebanyakan adalah dengan cara menyuap. Lalu dimanakah sisi memalak-nya?
Contohnya kejadiannya seperti ini : ada beberapa orang yang mempunyai sejumah uang yang sama sebagai alat untuk dipakai sebagai tukar tambah menyuap orang dalam pemerintahan. Nah, kan tidak mungkin memasukkan semua orang yang punya uang itu menjadi PNS? Karena kuota PNS terbatas. Orang-orang “dalam” sana memalak dengan cara membuat semacam “tender”. Jadi, siapa yang mempunyai Tawaran terbesar, dialah yang berhak mendapatkan posisi PNS tersebut."suap menyuap"
Masih banyak contoh lain, tapi sepertinya 5 hal di atas sudah cukup menggambarkan tren memalak yang sangat menjamur di Indonesia ini. Sudah dimanakah integritas kita? Sudah
dimanakah sisi kemanusiaan kita? Karena dengan memalak kita telah merugikan manusia yang lain. Mudah-mudahan saya
dan anda yang membaca ini adalah orang-orang yang tetap pada pendiriannya untuk
tetap yakin dengan gaya hidup jujur dengan diri sendiri dan yakin kita bisa
sukses dengan itu.
Mungkin memang kesulitan hidup
ini sudah membuat kebanyakan kita sudah tidak dapat lagi berpikir jernih
tentang bagaimana bertahan hidup di dunia ini. Tentang, bagaimana bekerja keras
itu bukanlajh sebuah pilihan lagi. Tentang, bagaimana belajar berserah
sepenuhnya ke Sang Khalik adalah sebuah jawaban yang harus dituntaskan. Lalu mereka
memilih mencari jalan pintas. Jalan yang kira-kira masih “sedikit halal” untuk
tetap disebut “sukses”
Tapi apa iya semua itu benar? Kita
semua sudah sama-sama tahu jawabannya.
sumber gambar : http://www.suarapembaruan.com dan berbagai sumber (google.)
No comments:
Post a Comment