Udah lama ga nulis. Selama beberapa waktu ini merasakan banyak
sekali hal yang lahir di kepala untuk dituangkan ke sebuah wadah. Problema pekerjaan,
gaya hidup yang masih tidak baik, sifat konsumerisme yang berlebihan,
percintaan yang mencapai titik suram, dan lainnya. Tapi, ini selalu terulang
dan terulang, entah kenapa ketika akan mengetik atau menulis, tiba-tiba semua
buyar. Bak abis melihat Hesti Purwawinata sejam lebih, tiba-tiba melihat andika
Kangen Band tak lama kemudian.
Entah kemana larinya pikiran-pikiran yang penuh dengan hal
untuk dituangkan tadi.
Barusan melihat blognya si radit, yang followernya sekarang
mencapai 6jt orang di Twitter. Emrasing. Saya jadi tertarik untuk melihat kisah
sehari-harinya si radit di web-nya dia. Dan melihat awal mula kisah kebodohan
yang dia tularkan kepada Bangsa Indonesia. Ternyata memang kisahnya dia itu menarik
dan dia bisa membuat hal yang tadinya sangat biasa, tapi bisa jadi lucu jika
dituliskan dengan baik.
Setiap kisah memang tidak harus “sangat luar biasa” baru bisa
dikisahkan lewat blog, tulisan, buku, atau film. Itu semua kembali kepada
si-pengisah. Jika dia mensyukuri setiap kisah yang dirasakannya (tentunya
dengan bakat menulis juga) seharusnya, bisa menjadi hal yang menarik, paling
tidak menurut si-pengisah tersebut.
Okelah mari meluncur ke topik...
Beberapa hari ini, sering berpikir tentang profesi tukang sampah.
Kita semua pasti menyadari jika menjadi tukang sampah bukanlah hal yang mudah.
(entah kenapa menuliskan “tukang sampah” terasa ga enak, pengen menggantinya
dengan sebutan profesi yang lain, tapi ga tau apa yang cocok).
Banyak hal yang kurang baik yang kita rasakan jika kita
mencoba memposisikan diri kita sendiri sebagai tukang sampah. Ada beberapa hal perlu
saya bagikan untuk menambah simpati kita terhadap tukang sampah :
- Secara kesehatan, tukang sampah itu berjuang melawan penyakit ketika mereka sedang bertugas. Bayangkan tumpukan sampah yang harus mereka pegang, panggul atau angkat setiap harinya. Padahal sampah yang kita buang setiap hari mungkin sudah membusuk atau mungkin sudah menjadi belatung (membayangkannya aja saya merinding). Tapi mereka setiap hari harus bersentuhan dengan hal-hal itu. Di luar negeri sedikit ada pengecualian. Jika saya memperhatikan tukang sampah di luar sana (seringnya melalui film), mereka biasanya berpakaian yang lengkap, dan sepertinya cukup bersih. Sungguh berbanding terbalik dengan tukang sampah lokal yang ada di Indonesia. Entah memang Dinas Kebersihan-nya yang tidak peduli akan kebersihan pegawainya atau memang kepribadian tukang sampah-nya yang tidak bersih. Kalau menurut saya pribadi sih, ini lebih kepada fasilitas minim yang disediakan oleh pemerintahnya.
- Secara sosial, anak-anak tukang sampah ini juga menanggung derita penghinaan di kalangan teman-temannya. Kemungkinan mereka menjadi bahan ledekan di Sekolah pasti sangat besar. Karena ini adalah mental anak-anak manusia saat ini yang selalu membuat strata dimanapun mereka berada, kebanyakan.
- Secara fasilitas pekerjaan, saya melihat juga tukang sampah kurang didukung. Saya masih sering melihat tukang sampah yang masih menggunakan sepeda, bahkan menggunakan tenaga sendiri untuk mendorong gerobak sampahnya. Ga jamannya lagi lah seperti itu, sudah seharusnya mereka difasilitasi oleh kendaraan bermotor. Setidaknya untuk mengurangi beban otot yang banyak terpakai ketika mengangkat sampah ke gerobaknya,
Apa penghargaan yang seharusnya
kita berikan kepada mereka?
- Pemerintah sudah seharusnya memperhatikan kesehatan mereka, karena sudah pasti mereka rentan akan penyakit.
- Saya kurang tahu berapa gaji tukang sampah sekarang,
tapi yang saya dengar-dengar sekitar 500rb-1 jt/bulan. Mengingat status mereka
yang berada di bawah Dinas Kebersihan, berarti mereka juga terhitung PNS bukan?
Sudah seharusnya mereka jg mendapatkan gaji paling tidak setara dengan UMR,
mengingat kegiatan yang mereka lakukan.
Kenapa cuma Guru dan PNS-PNS lainnya yang menikmati semua tunjangan-tunjangan pemerintah? - Kita, sebagai masyarakat yang dilayani oleh para tukang sampah setiap minggunya, mulailah untuk tertib dalam mengemas sampah yang akan anda buang. Mengikat dengan rapi sampahnya, agar jangan berceceran ketika mereka mulai mengangkutnya ke truk atau gerobak sampah.
- Jika bisa sampah-sampah organik, anda jadikan
pupuk, ketimbang dibuang ke tempat sampah, yang membuat sisa sampah tadi berubah
menjadi belatung.
Seperti saya pribadi sekarang, cukup merasa membantu para tukang sampah dengan memelihara Si Bron. Kenapa? Karena saya tidak pernah lagi membuang sisa makanan saya, saya sekarang memberikannya kepada Si Bron (terkecuali duri ikan sih, karena si Bron anti makan duri ikan). Cukup efektif kan dalam mengurangi tumpukan sampah organik saya selama ini? J
Seorang teman saya pernah berkata, sesungguhnya “menjadi
lebih baik itu” adalah menyadari kesalahan diri sendiri dan mau memperbaikinya,
ketimbang selalu menerima nasehat dari orang lain dan menonton Mario Tegur.