Wednesday, August 28, 2013

Etika Sepakbola dan Ambisi Pribadi dalam Hal Transfer Pemain

Aloha, selamat siang semua, di siang hari ini saya akan membagikan sedikit pemikiran tentang Sepakbola. Dulu, pada tahun 1997an saya adalah seorang fans sepakbola dengan banyak klub, dimulai dari : Arsenal, AC Milan, AC Parma, Salernitana, Valencia, Werder Bremen, Feyenoord. Pokoknya saya minimal punya 1 jagoan di setiap liga Eropa, kalau Indonesia sih udah jelas : PSMS Medan (kabar terakhir saya dengar, kalau klub Sepakbola ini sudah mau dibabarkan, sedih). Ternyata makin dewasa, saya semakin menyadari, bahwa tidak mungkin mendukung 2 klub yang berbeda tapi ada di 1 liga. Misalnya Parma dengan AC Milan, kan mereka bertemu bisa sampai 4 kali (terhitung Piala Italia), jadi saya memutuskan untuk memilah-milah tim yang saya dukung. AC Milan akhirnya saya coret karena klub ini pernah menjual Andriy Shechenko, pemain favorit saya demi uang, saya kesalnya minta ampun, akhirnya menjadikan klub ini sebagai klub yang tidak saya sukai. Dan dari AC Milan berganti menjadi AS Roma. Faktor permainan adalah penyebabnya, saya cukup menyukai permainan Roma ketika masih diperkuat Amantinio Mancini dan vice-captain De Rossi. Saya melihat potensi Roma di masa depan yang punya aset pemain muda akan berjaya di Italy (ternyata Mancini akhirnya dijual ke Intermilan). Roma memang benar, sempat berkembang dan menjadi tim kuat tapi karena kedigdayaan Inter di Italia, ditambah periode Juve degradasi + pengurangan poin Milan, Roma hanya sanggup menjadi runner-up di Liga italy dan beberapa kali menjuarai Piala italia. AC Parma juga saya coret karena kebiasannya menjual pemain bintangnya sampai klub ini menjadi bangkrut dan terdegradasi ke Serie B, tapi akhirnya prmosi lagi ke Serie A pada tahun 2009. Salernitana, tidak saya benci, tapi klub ini terdegradasi pada tahun 1999 dan belum pernah kembali sampai sekarang. Sampai saat ini saya masih menyukai Valencia, Bremen, dan Feyenoord; karena saya punya prinsip : saya mesti punya gacoan buat ngelawan tim elit. Sekedar melihat perkembangan tim di liga lain saja. Sejatinya saya sebenarnya hanya serius memperhatikan Arsenal saja :) 

Saya tidak terlalu suka tim yang dominan. Walau pernah ada yang berpesan pada saya : "ingat, menjadi hebat dan konsisten di level atas itu bukan hal mudah loh, itu butuh perjuangan keras, karena lebih sulit mempertahankan daripada merebut". Itu ada benarnya dan saya setuju dengan itu, tapi ada hal yang mungkin terlewat dan dapat disimpulkan menjadi 1 pertanyaan : "bagaimana cara mereka merebut kesuksesan?"

Nah hal inilah yang sering dilupakan oleh banyak pihak. Jaman sekarang. kebanyakan tim besar merebut kesuksesan dengan cara instan : membeli. Yap, jaman sekarang hampir semua bisa dibeli, hal yang paling simpel saja: membeli pemain. Sekarang mereka membeli pemain dengan harga yang tidak wajar dan tidak terkontrol. Saya sangat tidak suka dengan cara ini, walau cara ini sangatlah lumrah dalam sepakbola tapi menurut hemat saya, adalah sangat bijak jika kita membangkitkan kembali semangat sepakbola. Bekerja keras dan pada dasarnya semua hal menuju sukses pasti disertai dengan proses.
Pada dasarnya bermain sepakbola adalah untuk kebahagiaan. Passion for win. Kesuksesan sebuah tim sepakbola akan lebih dihargai lagi jika kesuksesan tersebut direbut dengan kerja keras, kesabaran dan perjuangan. But now? Football is commercial. Play for money and passion to get more money. Tim yang memakai metode itu? Tidak usah saya sebutkan. Di masa depan, kemungkinan semua tim yang "tiba-tiba kaya" akan memakai metode instan untuk juara ini. Lihat saja tim yang ada di 2 besar klasemen hampir semua liga di Eropa, rata-rata tidak ada yang fair dalam transfer. 

Ada beberapa tim yang menurut saya bagus dalam hal membangun tim. Saya salut dengan Juventus yang bisa bangun timnya dengan baik, membeli pemain yang dibutuhkan dan bisa juara 2 kali berturut-turut; salut dengan Dortmund yang berani mempromosikan pemain mudanya, tapi tetap bisa meraih juara; Napoli juga bagus dengan sebisa mungkin melindungi pemain bintangnya dan tidak tergoda akan uang (Cavani dijual karena klausul buy-out nya ditebus oleh PSG, tidak ada yang bisa melarang, terkecuali pemain tersebut tidak tertarik untuk pindah). 

Sedangkan tim-tim besar yang lain? Sepertinya alergi dengan kata-kata : sabar melatih tim muda, sabar untuk tidak memecat pelatih yang baru masuk, sabar untuk melihat potensi pemain yang belum keluar karena belum klik karena si pemain baru masuk. Ya, sabar, sabar, dan sabar; sekarang seperti sudah tidak ada lagi tempat untuk kata "sabar" pada prinsip mereka. Semua orang ingin instan, semua orang ingin instan untuk juara, semua orang ingin instan untuk kaya. 

Akibatnya apa? 
  • Sekarang harga pemain sudah tidak ada lagi yang masuk akal, logikanya seperti ini : jika kualitas si A sama dengan si B, kenapa harga si A lebih mahal dari si B?, semua tim pasti jadi berpikir seperti itu. Akhirnya tim semenjana pasti tidak bisa bersaing dengan Tim besar jika ingin menggandeng pemain yang diinginkan.
  • Standar penggajian pemain yang kacau balau, di City gaji pemain bisa mencapai 250rb pounds/pekan! sedangkan di Hull City mungkin hanya 20rb pounds/pekan. Secara tidak langsung telah terjadi kesenjangan.
  • Tim kecil yang semakin melemah, karena jatah hak siar di-monopoli oleh tim besar dan tidak dibagi dengan rata karena alasan kualitas tim.
  • Perputaran uang dan pemain hanya berada dikalangan tim besar yang membuat tim lain tidak punya peluang untuk masuk dan bersaing menjadi juara
  • Dan lainnya
Tidak ada yang menjadi penengah dari semua ini. UEFA atau FIFA? Saya dengar mafia sepakbola pun sudah bergerak sampai ke jajaran pemimpinnya. Berharap kesuksesan yang bisa ditunjukkan oleh tim-tim tadi mampu diulang kembali, agar mata insan penikmat sepakbola kembali terbuka, bahwasanya football ethic harus tetap ditegakkan. Karena Sepakbola juga menyangkut kehidupan banyak orang. Jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada sepakbola. Financial Fair Play yang sudah mulai ditegakkan mudah-mudahan bisa menjadi solusi dari semua konflik di atas untuk tetap bisa melihat semangat sepakbola yang sudah mulai hilang, karena dapat dibeli dengan mudah oleh para bedebah-bedebah asal Rusia dan pengusaha minyak asal Timur Tengah, yang ikut-ikutan masuk ke dalam dunia sepakbola datang untuk merebut ketenaran dan kekayaan. Melihat kemenangan sepakbola seperti ketika Dormund mengangkangi Munchen 2 tahun berturut-turut adalah kebahagiaan pribadi saya atau mungkin kebahagiaan seluruh penikmat murni sepakbola.
Football for Life.

No comments:

Post a Comment